Pengertian Sopan Santun
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mempelajari Mata Pelajaran AGAMA
ISLAM khususnya yang membahas tentang materi “HAKEKAT DAN SOPAN SANTUN”.
Harapan saya semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.
Makalah ini saya akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu
saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
1. PENDAHULUAN
Sopan santun merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat
Jawa, termasuk generasi mudanya. Berhubung peran pentingnya maka sopan santun
dapat digolongkan sebagai nilai Kejawen, di samping nilai Kejawen yang lain
misalnya “Rukun”. Hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa sopan santun mendapat
tempat yang utama dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya bagi mereka yang
mengutamakan kebaikan, kerukunan dan sejenisnya.
Dalam segala bidang kehidupan masyarakat,
sopan santun kita
temukan bentuknya. Oleh karena itu, sopan santun sangatlah luas jangkauannya
seluas bidang kehidupan yang dihadapi dan berhadapan dengan masyarakatnya.
‘Dihadapi’ dan ‘berhadapan’ secara mental maupun secara faktual
(rohani/jasmani). Secara mental dapat berupa gagasan, penemuan, ide, niat dan
sebagainya. Secara faktual dapat berupa peristiwa kehidupan nyata sehari-hari
yang tentu saja tidak lepas dari masalah sopan santun.
Dalam segala lapisan masyarakat, tua-muda, kaya-miskin,
terpelajar-tidak terpelajar dapat ditemukan suatu bentuk sopan santun. Di
samping itu, dari segala jaman dapat pula ditemukan bentuk-bentuk sopan santun.
Sopan santun selalu bersama dengan lapisan masyarakat dan jamannya.
Betapa luas jangkauan pembicaraan sopan santun, apabila kesemuanya
dibicarakan. Dalam kesempatan ini, terutama akan dikhususkan pada pembicaraan
mengenai sopan santun dari segi bahasa. Namun apabila pembicaraan menyinggung
hal-hal di luar bahasa, hanyalah suatu cara untuk memperjelas uraian. Hal ini
berhubungan dengan kenyataan adanya factor bahasa dan factor di luar bahasa ada
kaitannya. Keduanya dapat dipilah-pilahkan akan tetapi tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Sehubungan dengan topik pembicaraannya, maka berikut ini akan
dibicarakan (1) pengertian sopan santun berbahasa Jawa, (2) generasi muda
antara harapan dan kenyataan, (3) era globalisasi dan sopan santun berbahasa
Jawa generasi muda dan (4) catatan penutup.
2. PENGERTIAN SOPAN SANTUN
Secara etimologis sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu
kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Di
dalam Baoesastra Djawa (1939) dijelaskan sebagai berikut.
1) Sopan :
weruh ing tatakrama (halaman 579)‘mengetahui tatakrama’
2) Santun: salin (halaman 543)‘berganti’
Berdasarkan pengertian di atas, sopan santun dapat mencerminkan
dua hal, yaitu mengetahui tatakrama dan berganti tatakrama. Mengetahui sebagai
cerminan kognitif (pengetahuan), sedangkan berganti cerminan psikhomotorik
(penerapan suatu pengetahuan ke dalam suatu tindakan).
Sehubungan dengan sopan santun berbahasa, ada dua faktor yang
tidak dapat dipisahkan, yaitu patrap ‘tindakan’ dan pangucap ‘ucapan’. Patrap
dalam tindak tutur dapat berupa anggukan kepala, lirikan mata, gerakan mulut,
lambaian tangan dan sebagainya. Pangucap merupakan bentuk kebahasaan yang
diucapkan oleh penuturnya. Dalam bahasa Jawa bentuk kebahasaan itu tercermin
dalam unggah-ungguhing basa / undha-usuk atau speech levels.
Sopan santun berbahasa Jawa oleh Suwadji (1985: 14-15) menyatakan
sebagai berikut.
1) Ajaran sopan
santun berbahasa Jawa merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang masih hidup
dan bertahan sampai sekarang.
2) Sopan
santun berbahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Jawa.
3) Sopan
santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur menghormati lawan tuturnya.
4) Sopan
santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat
tutur Jawa.
Keempat pernyataan tersebut menunjukkan adanya hakikat dan fungsi
sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Hakikat dan fungsi
menunjukkan adanya suatu prinsip kesopansantunan (politeness principle).
Prinsip kesopansantunan (kesopanan) menurut Leech (1993: 206-207)
ada 6 maksim. Keenam maksim dan submaksim-submaksimnya adalah sebagai berikut.
1) Maksim
kearifan/kebijaksanaan
(1) Minimalkan kerugian
terhadap orang lain, atau
(2) Maksimalkan keuntungan
terhadap orang lain
2) Maksim kedermawanan/kemurahan
(1) Minimalkan keuntungan
terhadap diri sendiri, atau
(2) Maksimalkan kerugian
terhadap diri sendiri
3) Maksim pujian
(1) Maksimalkan
ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau
(2) Maksimalkan rasa hormat
terhadap diri sendiri
4) Maksim kesepakatan
(1) Maksimalkan kesepakatan
antara diri sendiri dengan orang lain, atau
(2) Minimalkan
ketidaksepakatan antara diri sendiri dengan orang lain
5) Maksim kerendahan hati
(1) Maksimalkan
ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau
(2) Minimalkan rasa hormat
terhadap diri sendiri
6) Maksim simpati
(1) Maksimalkan rasa simpati
antara diri sendiri dengan orang lain, atau
(2) Minimalkan rasa antipati
antara diri sendiri dengan orang lain.
Sehubungan dengan prinsip kesopanan tersebut dalam bahasa Jawa
dikenal adanya istilah atau ungkapan-ungkapan yang dapat dipandang sebagai
ajaran sopan santun, yaitu sebagai berikut.
1) Pamicara puniku weh resepe ingkang miyarsi
(KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat Nayakawara)
‘Pembicara itu memberikan rasa nyaman bagi yang mendengarkan’.
2) Tatakrama
punika, ngedohken panyendhu (KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat
Nayakawara)
‘Sopan santun itu dapat menjauhkan kemarahan’.
3) Amemangun
karyenak tyasing sasama (KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama)
‘Berusaha membuat nyaman hati sesama’.
4) Andhap asor atau Anor
Raga ‘Merendahkan diri’.
5) Empan papan
‘Menyesuaikan tempat’.
6) Undha-usuk atau
Unggah-ungguhing basa ‘Tingkat tutur’.
Hal yang khusus ditemukan dalam bahasa Jawa
yaitu undha-usuk ‘Tingkat tutur’. Geerzt (1981) dalam Abangan Santri Priyayi
dalam Masyarakat Jawa menyatakan bahwa undha-usuk mencerminkan perbedaan sopan
santun berbahasa. Yang pada pokoknya dinyatakan sebagai berikut.
1) Tingkat tutur ngoko mengatakan rasa sopan santun yang rendah
(low honorifics).
2) Tingkat tutur madya mengatakan sopan santun yang sedang (middle honorifics).
3) Tingkat tutur krama mengatakan sopan santun yang tingi (high honorifics).
2) Tingkat tutur madya mengatakan sopan santun yang sedang (middle honorifics).
3) Tingkat tutur krama mengatakan sopan santun yang tingi (high honorifics).
Pernyataan tersebut haruslah tidak dipandang
dari segi kebahasaan saja, namun juga harus dilihat segi-segi nonkebahasaan
yang menyertainya. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa dalam berbahasa ada dua
faktor yang menentukan yaitu faktor lingual dan faktor nonlingual. Keduanya
sangat berkaitan dan dapat menentukan tingkat kesopansantunan seseorang.
3 GENERASI MUDA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Masa depan bangsa dan negara menjadi tanggung
jawab generasi muda, remaja dan pemuda (termasuk juga pemudi). Jika mereka
berkembang dengan peningkatan kualitas yang semakin membaik besar harapan
kebaikan dan kebahagiaan kehidupan bangsa dapat diharapkan. Namuh jika terjadi
sebaliknya, maka keadaan saling menuding dan menyalahkan tidak dapat
dihindarkan sedang permasalahannya semakin nyata dan semakin parah (Hasan
Basri, 1995: 3).
Pernyataan tersebut mengisyaratkan ada dua
pernyataan yang menyangkut generasi muda. Pernyataan yang pertama, yaitu adanya
harapan yang positif bagi generasi muda, seperti pemuda harapan bangsa, pemuda
pemimpin masa depan, pemuda generasi penerus bangsa, dan sebagian harapan
positif ini dapat terwujud apabila generasi muda memiliki kualitas. Pernyataan
kedua, merupakan kebalikan dari pernyataan pertama, yaitu adanya permasalahan
generasi muda yang tidak menyadari atau tidak mengerti mengenai peran
pentingnya. Keadaan generasi muda yang demikian yaitu adanya generasi muda yang
terlibat pada kenakalan, seperti kenakalan remaja, atau kenakalan pemuda.
Bagi generasi muda yang berkualitas dapat
diharapkan dapat mengemban fungsinya. Akan tetapi bagi generasi muda yang
terlibat pada kenakalan remaja fungsi yang mulia sulit untuk dimengerti. Dua
klasifikasi generasi muda yang demikian itu, dapat tercermin dalam wujud
kebahasaannya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan didapatkannya,
sementara pemuda yang tampaknya lemah lembut menunjukkan sopan santun namun
pada hakekatnya hanya untuk menutupi kenakalannya. Hal semacam ini dalam bahasa
Jawa dikenal adanya istilah apus krama “menipu secara halus”.
Bagi generasi muda yang dapat diharapkan
secara positif untuk kemajuan bangsa, peranan sopan santun, termasuk sopan
santun berbahasa, mendapat tempat yang utama. Generasi muda yang mengutamakan
sopan santun dapat dijadikan motivator dan dinamisator lingkungannya. Hal yang
demikian menunjukkan akan pentingnya bagi pembinaan generasi muda. Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam Serat Wulang Reh Yasan Dalem Sri Susuhunan
Pakoeboewana IV disebutkan sebagai berikut:
Tembang Kinanthi
1) Yen wong anom pan wus tamtu,manut marang kang ngadhepi yen kang
ngadhep keh durjana,
tan wurung bisa anjuti,yen kang ngadhep akeh bangsat, nora wurung dadi maling
tan wurung bisa anjuti,yen kang ngadhep akeh bangsat, nora wurung dadi maling
2)
Sanadyan nora amelu, pasti wruh lakuning maling,kaya mangkono sabarang,panggawe
ala puniki,sok weruhagelis bias yeku
panuntuning iblis.
Terjemahan
1) Orang
muda memang sudah tentu,menurut yang dihadapi, bila yang menghadapi banyak penjahat, tidak urung (tentu) bisa berjudi,
bila yang menghadapi bangsat,tidak urung menjadi pencuri.
2) Walaupun tidak mengikuti,pasti tahu perilaku
pencuri,seperti itulah sesuatu,perbuatan jelek itu,pernah tahu cepat bisa,yaitu
penuntun iblis.
Berdasarkan isi tembang tersebut jelaslah
bahwa lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi pemuda.
Lingkungan yang tidak baik dapat mempengaruhi diri pemuda. Pengaruh yang buruk
lebih mudah tertanam apabila dibandingkan dengan pengaruh yang baik. Generasi
muda yang demikian sulit untuk menerima prinsip-prinsip sopan santun berbahasa
yang telah dijelaskan pada sub pembahasan nomor 2. Hal semacam ini akan lebih
kompleks lagi masalahnya kalau dikaitkan dengan era globalisasi pada masa
sekarang ini.
4. ERA
GLOBALISASI DAN SOPAN SANTUN BERBAHASA JAWA GENERASI MUDA
Dalam rubrik Ature Redaksi yang dimuat dalam
Jaya Baya nomor 10 tanggal 5 November 1995 dinyatakas sebagai berikut.
“Taun gilir gumantine abad wis saya cedhak, mung kari 4 tahunan.
Ing abad 21 mengko, manut grambyangan kita bakal ngadhepi tantangan kang luwih
hebat. Jalaran kang disebut globalisasi saya.... dadi. Pasar bebas saya bablas.
Ing jaman mau sapa kang siap lan kuwat, bakal ngrasakake urip nikmat, ora
perduli karo kiwa tengen kang padha urip megap-megap kesrakat. Mula, taun iki
sarta taun kang bakal teka, ora keladuk yen ana kang duwe panganggep mujudake
taun kang banget strategis kanggo wiwit tali-tali ngadhepi abad kang kebak
tantangan kang ora entheng mau”.
Dalam kutipan tersebut digambarkan mengenai
era globalisasi, yang dalam salah satu sisinya ada segi-segi yang negatif. Hal
ini tercermin dalam pernyataan: ora perduli karo kiwa tengen ‘tidak peduli
dengan lingkungan’. Di samping itu, juga dinyatakan bahwa era globalisasi
merupakan tantangan yang berat. Untuk menangkal pengaruh negatif dari era
globalisasi dapat ditempuh adanya satu usaha pendidikan yaitu pendidikan budi
pekerti. Dalam pendidikan budi pekerti ini satu unsurnya adalah pendidikan
sopan santun berbahasa.
Dalam era globalisasi yang ditandai adanya
transportasi dan kecanggihan informasi dapat berpengaruh dalam sistem
kebahasaan, dalam hal ini bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa didapatkan adanya
istilah interferensi dari bahasa lain menunjukkan adanya pengaruh yang
dimaksud. Adanya interferensi dari bahasa lain ke dalam bahasa Jawa, dapat
mengganggu kelancaran komunikasi. Hal semacam ini dapat mengakibatkan adanya
bentuk bahasa Jawa yang tidak memenuhi prinsip bahasa yang baik dan benar (basa
ingkang laras saha leres).
Jelaslah, bahwa dalam era globalisasi kita
termasuk generasi muda, diharapkan pada banyak pilihan. Pilihan dari segala
aspek kehidupan, dan yang menjadi pokok pembicaraan, tentunya pada pilihan
kebahasaan. Tiap-tiap bahasa menawarkan atau memiliki prinsip sopan santun yang
berbeda. Oleh karena itu, generasi muda harus memiliki kemampuan untuk memilah
kemudian memilih. Memilah dalam arti berhadapan dengan banyak alternatif,
sedangkan memilih dalam arti dapat menentukan alternatif yang dapat digunakan
yang mendasari tindakan.
Sehubungan dengan masalah memilah dan memilih
ini kiranya diperlukan adanya acuan. Acuan yang dimaksud salah satunya dari
segi kebahasaan, yaitu sopan santun berbahasa Jawa yang dapat menandai jati
diri suatu bangsa. Oleh karena itulah, maka prinsi-prinsip kesopansantunan
dalam berbahasa, khususnya bahasa Jawa, memiliki peran penting dalam membentuk
pribadi generasi muda (generasi muda Jawa). Dalam era globalisasi, pemanfaatan
nilai tradisi yang agung masih memiliki relevansi.
5. KESIMPULAN
Apa yang telah disajikan merupakan pokok-pokok pikiran, yang tentu
saja dalam bentuk garis besar. Pokok-pokok pikiran itu masih perlu dikembangkan
dan ditelaah secara mendalam agar dapat ditemukan manfaatnya.
Sebagai bagian akhir pembicaraan, penulis tampilkan tembang
Kinanthi dari Serat Wulang Reh. Tembang tadi merupakan wasiat dari leluhur
kita, yang dapat dijadikan bahan renungan yang dapat berbentuk introspeksi,
retrospeksi, dan komparasi. Pada akhirnya dapat diharapkan menghasilkan
konklusi mengenai sopan santun, termasuk berbahasa Jawa, yang dapat diterapkan
dalam era globalisasi yang serba canggih ini. Adapun kutipan tembangnya adalah
sebagai berikut.
1) Panggawe
becik puniku,gampang yen wus dilakoni,angel yen durung linakwan,aras-arasen
nglakoni,tur iku den lakonana,munfa’ati badanneki.
2) Mulane wong anom iku,abecik ingkang
taberi,jejagongan lan wong tuwa,ingkang sugih kojah ugi,kojah iku warna-warni,ana
ala ana becik.
3) Ingkang becik kojahipun,sira anggowa kang
remit,ingkang ala singgahana,aja niyat anglakoni,lan den awas wong kang kojah,ing
lair masa puniki.
Terjemahan
1) Perbuatan baik itu,mudah apabila sudah dilakukan,sukar
apabila belum dilakukan,enggan melakukan,lagipula itu harap dilaksanakan,bermanfaat
(terhadap) badan ini.
2) Maka orang muda itu,sebaiknya yang rajin,bertandang (berbicara)
dengan orang tua,yang kaya pembicaraan,pembicaraan itu bermacam-macam,ada yang
buruk ada yang baik.
3) Yang baik pembicaraannya,kau pakai yang hati-hati/teliti,yang
buruk kau simpan saja,jangan berniat menjalankan,dan waspadailah orang yang
berbicara, yang terungkap masa kini.
Demikianlah kutipan tembang Kinanthi yang dapat penulis sajikan.
Dengan harapan pembaca, generasi muda, dapat memetik sari ajaran dari leluhur
pendahulu kita. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak
kekura
ngannya. Oleh karena itu, saran dari pembaca akan dipertimbangkan
sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
- Geertz, C. 1981. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Hasan Basri. 1995. Remaja Berkualitas: Problematika Remaja dan Solusinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
- Majalah Jaya Baya nomor 10 tanggal 5 November 1995.
- Maryono Dwirahardjo. 1990. “Sopan Santun Masyarakat Jawa.” Pengabdian pada masyarakat di Kecamatan Karanggedhe, 13 November 1990.
- Suwadji, 1985. “Sopan Santun Berbahasa Jawa”. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
- Tanaya, R. tanpa tahun. Wulang Reh. Sala: Penerbit TB. Pelajar.
Comments