Makalah Tentang Darud Dakwah Wal Irsad
KATA PENGANTAR
Bismilahirahmanirahim.
Puji dan
syukur kita panjatkan kekhadirat Allah Swt yang telah memberikan taufik dan
hidayahNya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhammad
Saw, para sahabatnya, tabiuttabiin, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selau
umatnya. Amin.
Seiring
dengan berakhirnya penyusunan makalah ini, sepantasnyalah penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah turut membantu penyusun dalam
penyusunan makalah ini.
Penyusun
menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena
itu peyusun berharap adanya kritik dan saran yang membangun. Penyusun berharap
kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun maupun pembaca dan mudah-mudahan
makalah ini dijadikan ibadah di sisi Allah Swt. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I LAHIRNYA DARUD DA’WAH WAL IRSYAD (DDI)
1
A.
Peralihan
MAI Mangkoso Menjadi DDI 1
B.
Rumusan masalah
2
C.
Tujuan
2
BAB II DARUD DAKWAH WAL – IRSYAD (DDI) 3
A.
Mangkoso
Sebagai Pusat Organisasi DDI 3
B.
Pare-pare
dan Darud Dakwa Wal-Irsyad (DDI) 5
C.
Azas
Organisai DDI 7
BAB III PENUTUP 12
A.
Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
LAHIRNYA DARUD DA’WAH WAL
IRSYAD (DDI)
A.
Peralihan MAI Mangkoso Menjadi DDI
Sebagai realisasi dari keputusan
musywarah alim ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah se-Sulawesi Selatan tentang perlunya
dibentuk suatu organisasi dengan lebih meningkatan fungsi dan peranan MAI
Mangkoso, maka muncullah beberapa usul tentang nama bagi organisasi yang akan
dibentuk itu. Antara lain dari K. H. M. Abuduh Pabbaja dengan nama “Nasrul Haq”
dari ustaz H. M. Tahir Usman dengan nama “Al Urwatul Wusqaa” dari Syekh
H. Abd Rahman Firdaus dengan nama “Darud Da’wah Wal Irsyad”. Setelah
dimusyarawahkan, maka yang disepekati secara bulat adalah nama Darud Da’wah Wal
Irsyad.
Manurut Syekh H. Abd. Rahman
Firdaus, pemberian nama demikian adalah merupakan tafaul dalam rangka
menyebarluaskan dakwah dan pendidikan dengan pengertian, Darun (دار) = rumah, artinya tempat atau sentral
penyiaran, Dakwah (دعوة) = ajakan, artinya panggilan memasuki rumah tersebut. Irsyad
(ارشاد) = petunjuk, artinya petunjuk itu akan
didapat melalui proses berdakwah lebih dahulu di suatu daerah kemudian disusul
pendidikan pesantren/madrasah.
Dengan
demikian, Darud Dakwah Wal Irsyad pada hakekatnya adalah suatu organisasi yang
mengambil peranan dalam fungsi mengajak manusia ke jalan yang benar dan
membimbingnya menurut ajaran Islam ke arah kebaikan dan mendapatkan
keselamatan.
Untuk terwujudnya organisasi ini dan
agar dapat memulai kegiatan-kegiatannya, oleh musyawarah Alim Ulama diamanatkan
kepada K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle selaku pimpinan MAI yang telah memiliki
cabanng di beberapa daerah untuk mengambil prakarsa seperlunya. Oleh beliau
diadakanlah musyawarah dengan guru-guru MAI beserta utusan cabang-cabang MAI
dari daerah-daerah pada bulan Sya’ban 1366 H (1947 M) di Mangkoso. Bahwa MAI
Mangkoso sebenarnya merupakan cikal bakal organisasi persatuan DDI.
Dilihat dari sudut historis
sosiologis MAI Mangkoso yang lahir pada hari Rabu, 20 Zulkaeddah 1357 H atau 11
Januari 1939 merupakan elemen dasar lahirnya suatu wadah yang ditopang suatu
idealisme yang dalam pengembangannya berwujud organisasi persatuan DDI. Atas
dasar kerangka berfikir demikian, jelas pula posisi musyawaraah Alim Ulama
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diselenggarakan pada hari Jum’at 16 Rabiul Awal
1366 H yang bertepatan dengan 17 Februari 1947 di Watang Soppeng sebenarnnya
adalah merupakan suatu forum yang berusaha untuk menemukan suatu rumusan yang
berupa konsepsi dalam usaha menata potensi umat dengan membenahi dan meningjkatkan
peranan MAI Mangkoso guna memenuhi hasrat dan kebutuhan masyarakat, yang
membawa konsekwensi diintegarsikannya MAI Manngkoso menjadi organisasi DDI.
Pengintegrasian itu sendiri harus
diartikan sebagai suatu tolak ukur dalam peningkatan bentuk struktural dsn
opersionsl dsri wadah yang bersifat organisasi sekolah semata mata menjadi
organisasi yang bersifat kemasyarakatan yang lapangan geraknya mengambil
peranan dalam bidang pendidikan dakwah dan usaha-usaha sosial.
B. Rumusan masalah
a. Mengetahui
asal mula berdirinya DDI…
b. Mengetahui
asas organisasi DDI
C. Tujuan
Agar para pembaca dapat mengetahui asal mula dan sejarah terbentuknya DDI
dan peranan DDI dalam pendidikan.
BAB II
DARUD DAKWAH WAL – IRSYAD (DDI)
A. Mangkoso Sebagai Pusat Organisasi DDI
Pada Awal berdirinya DDI, pusat
organsasi ini berkedudukan di Mangkoso yang didasarkan atas beberapa
pertimbangan antara lain guna mempermudah diterapkannya penngguanaan nama DDI
dalam menngganti nama MAI pada eselon bawah didaerah-daerah yang semula sudah
didirikan MAI ditempat itu. Demikian pula karena tempat berkedudukannya K. H.
Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai pimpinan organisasi berada di Manngkoso.
Sebagai suatu
organissasi yang baru berdiri salah satu palilng mendesak untuk dibenahi adalah
merampungkan Anggaran Dasar dan anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang di dalamnya
akan digambarkan intensitas antara cheak and balance yang merupakan
gambaran berlangsungnya demokratisasi dalam tubuh organisasi.
Untuk merampungkan penyusunan AD/ART
ini, ditangani oleh K. H. M. Abduh Pabbajah selaku sekretaris. Semula AD/ART
ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian di Indonesiakan oleh K.H.M.Ali Al Yafie
guna memudahkan bagi warga Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) untuk memahaminya.
Pekerjaan ini dilakukan bersama-sama dengan K. H. M. Amin Nashir. Dan mulai
saat ini pula singkatan DDI mulai dipakai.
Dalam memantapkan pengintegrasian
MAI Mangkoso menjadi DDI dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara
pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah serta untuk memudahkan
pemberian informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, diterbitkanlah suatu
Bulletin yang diberi nama Risalah Ad Dariyah yang mulai terbit pada tahun 1948.
Setelah sekian lama mengalami masa vokum, Risalah Addariyah ini kembali
diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena kesulitan dalam bidang keuangan dan
tidak adanya sistem terpadu dalam pengelolaannya kembali macet pada tahun 1976
sampai saat sekarang.
Dari musyawarah guru-guru pengurus
MAI yang telah diutarakan terdahulu dapat diketemukan kata mufakat yang
menyetujui pengintegrasian MAI Mangkoso dengah seluruh cabangnya menjadi Darud
Da’wah Wal Irsyad (DDI) dengan pusat organisasi berkedudukan di Mangkoso, dan
mengkokohkan susunan pengurus yang disusun berdasarkan rekomendasi dari hasil
musayawarah Alim Ulama di Watan Soppeng sebagai berikut :
K e t u
a
: K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle
Ketua
Muda
: K. H. M. Daud Ismail (Kadhi Soppeng)
Penulis
Satu
: K. H. M. Abduh Pabbajah
Penulis
Dua
: K. H. M. Ali Al Yafie.
Bendahara
: H. M. Madani
Pembantu-pembantu
: H. Abd. Muin Yusuf (Kadhi Sidenreng)
K. H. M. Yunus maratan
K. H. Abd. Kadir (Kadhi Maros)
K. H. M. Tahir (Kadhi Malanipa Sinjai)
S. Ali Mathar
K. H. Abd. Hafid (Kadhi Sawitto)
K. H. Baharuddin Syata (Kadhi Suppa)
K. H. Kittab (Kadhi Soppeng Riaja)
H. Muchadi Pangkajene
T. N. B. Pare-pare
Penasehat
: Syekh K. H. M. As’ad Sengkang
Syekh Haji Amoedi
Syekh H. Abd. Rahman Firdaus
Haji Zaenuddin (Jaksa Pare-pare)
M. Aqib Macasai [4]
Dengan susunan pengurus tadi
terwujudlah secara utuh hasil musyawarah Alim Ulama se-Sulawesi Selatan tentang
pembentukan organisasi Islam yang secara kongkritnya di tempuh dengan jalan
mengintegrasikan MAI Mangkoso menjadi DDI. Dengan prosedur yang demikian itu
kita mendapatkan kejelasan bahwa DDI itu adalah MAI Mangkoso dan MAI Mangkoso
itulah cakar bekal DDI.
B. Pare-pare dan Darud Dakwa Wal-Irsyad (DDI)
Dalam usaha lebih meningkatkan
koordinasi cabang-cabang DDI yang sudah ada maupun untuk pengembangannya di
daerah-daerah yang belum berdiri, maka pimpinan pusat DDI yang sejak tahun 1947
berkedudukan di Mangkoso kemudian pada tahun 1950 dialihkan kePare-pare.
Hal ini
terutama disebabkan karen Pare-pare merupakan kota yang cukup strategis dalam
kaitan poros perjalanan geografisnya. Di lingkungan daerah-daerah Sulsel dengan
posisi letaknya yang berada di tengah-tengah poros jaringan perhubungan yang
menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, baik melalui darat
umum maupun laut. Hal ini dapat dilihat pelabuhan Pare-pare yang melayani 11
daerah Hinterland yaitu :
·
Kabupaten Barru yang jaraknya dari Pare-pare 55 Km
·
Kabupaten Pinrang jaraknya dari Pare-pare 28 Km
·
Kabupaten Enrekang jaraknya dari Pare-pare 81 Km
·
Kabupaten Polmas Jaraknya dari Pare-pare 93 Km
·
Kabupaten Majene jaraknya dari Pare-pare 148 Km
·
Kabupaten Sidrap jaraknya dari Pare-pare 29 Km
·
Kabupaten Tanah Toraja jaraknya dari Pare-pare 157 Km
·
Kabupaten Luwu jaraknya dari Pare-pare 240 Km
·
Kabupaten Soppeng jarakanya dari Pare-pare 88 Km
·
Kabupaten Wajo jarakanya dari Pare-pare 86 Km
·
Kabupaten Mamuju jaraknya dari Pare-pare 289 Km
Faktor lain yang menunjang
perpindahan itu adalah adanya beberapa dermawan/ pembina DDI setempat bersedia
dalam penyediaan fasilitas akomodasi dan logistik organisasi disamping sektor
yang berkaitan dengan K.H. Abd. Rahaman Ambo Dalle yang pada saat itu menjabat
sebagai kadhi Suwapraja Mallusetasi di Pare-pare.
Dalam usaha perpindahan itu,
dibangunlah madrasah/pesantren DDI Pusat yang berlokasi di sebelah selatan
Masjid Raya Pare-pare. Kini lokasi tersebut telah menjadi lokasi Rumah Bersalin
dan Apotik Ad Dariyah DDI.
Oleh karena
perkembangan pesantren pusat DDI cukup baik maka pada tahun 1957 dibanngunlah
Kampus Baru Pondok Pesantren DDI di daerah Ujung Lare Pare-pare. Kampus Baru
ini luasnnya sekitar 3 Ha dilengkapi dengan perakntoran PB DDI disamping
lokal-lokal belajar para santri. Sampai saat sekarang bangunan tersdebut
masih dimanfaatkan untuk mengurusi semua eselon organisasi, madrasah serta
perguruan tinggi DDI yang tergeser di 15 Porpinsi di Indonesia. Pembanguna gedung
ini beserta pembelian atas tanahnya merupakan pendayagunaan sumbangan Menteri
Agama RI. K.H.M.Iyas yang jumlahnya Rp.2.500.000,-
Sebagai gambran berakarnya DDI di
Kotamadya Pare-pare dapat dilihat dari 29 Madrasah yang ada dalam Kotamadya ini
terdapat 25 buah adalah madrasah DDI yaitu : 4 buah tingakat Raudhatul Athfal,
11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 buah tingkat Tsanawiyah dan 3 buah
tingkat Aliyah[5]. Bahkan di Pare-pare inni pula berkedudukan Universitas Islam DDI
yang membawahi fakultas-fakultas berikut :
·
fakultas Ushuluddin di Pare-Parre
·
Fakultas Tarbiyah di Pare-pare
·
Fakultas Syariyah di Mangkoso
·
Fakultas Tarbiyah Pangkajene Sidrap.
·
Fakultas Tarbiyah Polmas
·
Fakultas Tarbiyah Pangkep
·
Fakultas Tarbiyah Majene
·
Fakultas Tarbiyah Maros
·
Fakultas Syariyah Pattojo
·
Fakultas Tarbiyah Tingkat Doktoral di Pare-pare.
·
Fakultas Ushululddin tinngkat Doktoral di
Pare-pare.
·
STKIP DDI di Polewali dan Majene.
C. Azas Organisai DDI
Sebagaimana diatur dalam anggaran
dasar DDI pada pasal 2 tercantum bahwa organnisai persatuan ini berazaskan
syariat Islam sepanjang pengertian Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Azas inilah
dicanagkan pada awal berdirinya sampai pada Mukhamar ke 14. Sesuai perkembangan
dan tingkat perjuangan organisasi maka dalam Mukhtamar DDI ke-15 pasal 2 AD-DDI
lebih disempurnakan dengan perubahan sebagai berikut :
1)
Persaan ini berazaskan Islam Ahlussunnah
Wal-Jama’ah.
2)
Persatuan ini berazaskan Pancasila.
Pancasila sebagai falsafah ngara
yang menjadi azas organisasi DDI,
mengandung pengertian bahwa pandangan hidup
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat warga Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI)
adalah Pancasila.[6]
Dalam
bidang Aqidah ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah sistem nilai yanng dianut Darud
Da’wah Wal-Irsyad (DDI). Dalam DDI kelihatnnya istilah Ahlussunnah itu lebih
merupakan istilah idiologiyag meringkas gambaran menyeluruh tentang Way of
life-nya bukan sekedar istilah dalam ilmu kalam atau teologi tapi menyangkut
selluruh aspek kehidupannya.
Dalam
bidang teologi sistem nilai yang dianut dan dikembangkan adalah mengikuti faham
Asyariyah. Dalam bidang fikhi sumber pengambilan hukum adalah Al Qur’an, Al
Hadits, Al Ijma (konsensus para Ulama) dan Qiyas (analogi) berbeda dengan
golongan-golongan lainnya yang tidak menngakui keutuhan empat sumber pengambilan
hukum itu yang cenderung untuk tidak menggunakan Ijma’ dan Qiyas dengan
menggantinya dengan Ijtihad, walaupun sangnt sulit membedakannya secara
mendasar antara Ijma-Qiyas dengan ijtihad.
Ahlussunnah sebagai suatu ajaran
biasanya secara singkat disebut Ahlussunnah atau golongan Sunny, yang merupak
golongan terbesar di dunia disamping syiah. Dari sgi historis sosiologi
sesunguhnya dapat diaktakan bahwa golongan suny tumbuh secara depesnif tidak
bergabung dengan syiah Ali dalam perebutan kekuasaan setelah khalifah ketiga
Usman wafat.
Dari segi historis teologis
pertumbuhan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mulai muncul secara bersama-sama dalam
rangkaian empat aliran hukum yanng terkenal yaitu aliran atau mazhab yakni
mzhab Hanafi, Maliki, Syafie, dan Hambali, yang telah terbentuk pada abad ke
dua Hijriyah. Pada masa ini fikhi (hukum) dan teologi (kalam) berada dalam satu
kesatuan yang tidak dipisahkan. Syariah yang pada dulunya dimaksudkan hanya
fikhi.
Pertenatngan teologi dalam Islam
mula-mula timbul sekitar persoalan apakah manusia berkebebasan atau dalam
keaadaan terpaksa (tak berdaya) berhadapan dengan takdir Tuhan. Timbul golongan
kadariyah yang berpendapat bahwa manusia itu berkebebasan. Lahir pula golongan
Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia adalah dalam keadaan sepenuhnya hanya
tergantung pada ketentuan Tuhan. Kemudian muncul pula golongan Mu’tazilah
dengan tokohnya Washil bin atha’ yang berpendapat bahwa manusia tiu bebas atau
mampu menentukan sendiri nasib dan jalan hidupnya dan tidak mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan.
Pada saat itu dapat dikatakan bahwa
sunnah nabi dan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh para sahabatnya
tidak lagi difungsikan secara wajar ditenagh-tengah masyarakat Islam. Maka
terdorong oleh situasi yang demikian, timbullah kesadaran sekelompok
ulama/cendekiawan islam sehingga lahirlah apa yang dinamakan golongan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Kritalisasi doktrim teologis ini
berlangsung sekitar abad kesepuluh masehi atau pada abad ketiga Hijriyah.
Sebelum masa inni sebenarnya ajaran Islam ahlussunnah itu tetap ada dan dianuut
oleh kaum muslimin, tapi belum terkonsenterasikan dalam suatu kelompok atau
firqah, karena masih berjalan sebagaimana pada Rasulullah Saw. dan
sahabat-sahabatnya tidak ada penggoongan yang demikian sebab memang hanya
ajaran satu-satunya itulah yang dianut masayarakat kaum muslimin tidak ada
ajaran atau firqah-firqah yang mengelompokkan aum muslimin dalam hal kehidupan
aqidahnya.
Kebangkitan
Ulama/cendekiawan tersebut, terutama diilhami oleh suatu hadits Rasulullah yang
berbunyi : 2)
من احيا سنة من سنتى قد اميتت بعدى فان له من الأجر مثل
من عمل بها من غير ان ينقص من اجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله
ورسوله كان عليه من الاثم مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من اوزارهم شيئا
Artinya
:
Barang siapa
yang menghidupkan satu sunnah-sunnahku yanng tercecer sesudah matiku, maka
sesungguhnya ia telah mendapatkan pahala sebagaimana oranng yang mengamalkannya
tanpa dikurangi barang sedikitpun. Dan barangsiapa yang mendatangkan bid’ah
yang jelek yang tidak diredhai oleh Allah Swt dan rasulnnya, adalah baginya
dosa sebagaimana dosa-dosa dari pada orang-orang yang mengerjakannya tidak
kurang barang sedikitpun.
Dalam banyak hadits Rasulullah Saw
memberikan gambaran akan munculnya firqah/golongan dikalangan umat Islam, tapi
yang selamat adalah mereka yang menganut ajaranIslam ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Diantara Hadits-hadits
itu adalah :
افترقت اليهود على احدى او اثنتين و سبعين فرقة والنصارى كذلك
وتفترق امّّتى على ثلاثة وسبعين فرقة كلّّّهم فى النّار الاّ واحد: قلوا من هى يا
رسول الله. ما انا عليه و اصحابى
Artinya :
Berpecah –
belah Yahudi menjadi 71 atau 72 golongan. Dan Nasrani demikian juga.
Berpecah-pecah ummatku nanti menjadi 73 golongan. Semuanya masuk keneraka,
kecuali satu. Sahabat-sahabat bertanya ; siapakah glonngan itu ya Rasulullah?
Jawab Nabi, itulah golongan yang tetap menjalani sebagai yang ku jalankan dan
sahabat-sahabatku (yang belum berobah dari apa yang dijalankan Nabi dan
sahabat 3).
Adapun
sokoguru berdirinya golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah sebagaia
berikut :
1.
Ulama Muhaddisin.
Ulama atau cendekiawan dalam bidang hadits ialah yang arif dan mengetahui
segala seluk beluk sanad, mathan, hadits dan dapat memisahkan mana-mana hadits
shahih, hasan, dhaif dan hal-hal yang berhubungan dengan hadts nabi secara
keseluruhan.
2.
Ulama Fikhi.
Ulama/cendekiawan dalam hukum Islam ialah yang mengetahui syah atau
tidaknya ibadah seseoranng atau masalahnya dengan berdasarkan nash Al qur’an,
sunnah Nabi, Ijma’ serta qiyas dan menguasai alat-alat ishtibath dalam
menetapkan hukum.
3.
Ulama Usuluddin.
Ulama/cendekiawan yang ahli dalam bidang teologi Islam adalah mereka yang
mengetahui sifat-siafat ketuhanan, baik sifat-sifat wajib, mustahil maupun
jahiz terhadap Allah Swt. Sesuai dedngan dalil-dallil akly yang bersumbber dari
pada akal yang sehat.
4.
Ulama Tassauf.
Ialah ulama yang berusaha mendekatka diri secara bathiniyah dari semua
hijab yang dapat menghalanginya dalam mengingat Allah Swt. Dengan mengguanakan
cara-cara tertentu.
Diantara
pelopor kebangkitan itu adalah Abu Hasan al Asyari (873 – 935 M) lahir di
Basharah tapi dibesarkan di Bagdad. Mula-mula dia sendiri adalah orang
Mu’tazilah dan murid seorang ulama besar mutazilah yaitu Al Jubbai. Akan tetapi
pada usia sekitar 40 tahun ia beralih menjadi penganut faham orthodoks
(Ahlussunnah) yang kemudian teoritikus dan arsitek bagi pembanguna sistem teologi
sunni dengan berhasilnya merumuskan sistem kepercayaan yang secara umum
dianut muslimin sejak dari zaman Rasulullah dan sahabatnya.
Faham Asya’ariyah ini pada mulanya
dicurigai oleh kaum muslimin sebab faham ini pada dasarnya adalah merupakan
suatu modus vivendi antara faham kadariyah dan Jabariyah dan antara faham
Musyabbihah yang mensifatkan Tuhan sama sifat makhluknya dengan faham Mu’taziah
yang menentang ada Tuhan mempunyai sifat. Tapi berkat pengaruh Imam Al Gazali
seorang penganut faham Asyariyah, maka semakin popelerlah dan pada akhirnya
diterima secara utuh oleh masyarakat Islam pada umumnya seabagi suatu sistem
teologi satu-satunya dalam dunia Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam memantapkan pengintegrasian
MAI Mangkoso menjadi DDI dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara
pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah serta untuk memudahkan
pemberian informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, diterbitkanlah suatu
Bulletin yang diberi nama Risalah Ad Dariyah yang mulai terbit pada tahun 1948.
Setelah sekian lama mengalami masa vokum, Risalah Addariyah ini kembali
diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena kesulitan dalam bidang keuangan dan
tidak adanya sistem terpadu dalam pengelolaannya kembali macet pada tahun 1976
sampai saat sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Comments